Buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik


Buku Tionghoa Dalam Pusaran Politik (ukuran file sekitar 45 MB) dapat didownload gratis melalui link berikut ini:

https://drive.google.com/open?id=0B_AzrIeKdy1hYXpVVlRMWnhVcFU

tionghoa_dalam_pusaran_politik

Sejarawan dan penulis buku “Tionghoa Dalam Pusaran Politik” yang tebalnya 1.137 halaman serta pendiri Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) itu menghembuskan nafasnya Jam 07.30 WIB Selasa 17 Januari 2017.

Saat ini beliau disemayamkan di Rumah Duka Dharmais Slipi ruang ABC dan akan dikremasikan hari Sabtu 21 Januari 2017 jam 09.00 di Nirwana.  Turut berduka cita kepada seluruh kerabat almarhum dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) serta orang-orang Tionghoa Indonesia.

Saya tidak pernah bertemu dengannya walaupun sudah berkali-kali mengirim salam hormat dan terima kasih. Reputasinya selama ini benar-benar menjadi panutan bagi saya.  Buku “Tionghoa Dalam Pusaran Politik” karyanya yang selama ini dibiarkannya untuk dibajak oleh siapa saja lalu disebarkan gratis menjadi E-book benar-benar menjadi sumber pustaka sejarah Tionghoa Indonesia.

Melalui buku tersebut pak Benny bukan hanya menerangi sejarah Tionghoa Indonesia yang selama ini gelap karena disembunyikan dan putarbalikkan oleh para penjajah baik orang asing maupun bangsa Indonesia sendiri namun menunjukkan kepada orang-orang Tionghoa Indonesia dan mereka yang mengagul-agulkan kepribumiannya bahkan kepada seluruh dunia bahwa orang-orang Tionghoa Indonesia bukan BENALU yang tumbuh subur namun tidak berakar.

Melalui buku tersebutlah saya dan banyak orang lainnya melihat fakta bahwa orang-orang Tionghoa Indonesia tidak berhutang apa pun kepada para pahlawan bangsa apalagi kepada mereka yang gembar-gembor dirinya pribumi karena NKRI didirikan bersama-sama oleh semua suku dan golongan untuk menjadi rumah bersama semua.

Atas  buku “Tionghoa Dalam Pusaran Politik” dia menerima Wertheim Award 2009 dari Wertheim Foudantion pada tanggal 6 Juni 2009 di Universiteit van Amsterdam. Wertheim Award diberikan dengan mempertimbangkan saran sebuah Komisi Anjuran Internasional, yang diketuai Prof Dr Jan Breman, sebagai penghargaan atas peranan, karya dan perjuangan mereka mempertahankan hak-hak demokrasi di Indonesia, khususnya kemerdekaan menyatakan pendapat, berkarya dan kemerdekaan pers, sebagai bagian dari perjuangan bangsa Indonesia untuk demokrasi dan usaha besar emansipasi bangsa yang masih berlangsung terus.

Benny Gatot Setiono dilahirkan 31 Oktober 1943 dan meninggal 17 Januari 2017. Menyadari sepenuhnya bahwa “Masalah Tionghoa” di Indonesia merupakan warisan sejarah kolonial yang telah membebani perjalanan sejarah bangsa Indonesia selama ini, maka bersama dengan 16 orang teman lainnya dia mendirikan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) pada tanggal 5 Februari 1999.

Perhimpunan INTI didirikan dengan tujuan menjadi organisasi yang maju, modern, bercitra internasional, berorientasi pada Kebangsaan Indonesia, menghargai hak asasi manusia, egaliter, pluralis, inklusif, demokratis, dan transparan untuk berperan aktif dalam dinamika proses pembangunan bangsa (nation building), antara lain menyelesaikan “Masalah Tionghoa” di Indonesia, menuju terwujudnya Kebangsaan Indonesia yang kokoh, rukun bersatu dalam keharmonisan, bhinneka, saling menghargai, dan saling percaya.

Selamat jalan pak Benny Gatot Setiono, kami berjanji untuk melanjutkan pejuangan dan karyamu selanjutnya dan mewariskannya kepada generasi ini dan generasi yang akan datang.

selamat_jalan_pak_ben__thumb

Sumber:

http://inti.or.id/view_photo/Tionghoa_Dalam_Pusaran_Politik.html#sthash.ZnR6KMGw.dpuf

https://bengcumenggugat.wordpress.com/2017/01/20/orang-besar-bernama-benny-g-setiono-itu-sudah-pulang/

Fu Fandi


https://www.youtube.com/watch?v=kBvlDV8vZZg

Fu Fandi, Pemulung dengan Suara dan Hati Emas

tmp_3964-fu-fandi-1068x53472999415

Tak sulit membayangkan seorang pemulung yang hidup menggelandang. Baju ala kadarnya. Tidur pun cukup di kursi taman kota. Untuk bertahan hidup, cukup mengorek apa saja dari tong sampah. Siapa tahu ada barang atau makanan sisa. Itulah potret kehidupan Fu Fandi di kota Shenzhen, Cina. Tapi, jangan salah duga, dia pemulung istimewa.

Fu Fandi seorang pria biasa. Dia sendiri tak tahu berapa umurnya. Sejak lahir, dia sudah dikelilingi ketakutan dan kelaparan. Dia tak punya keluarga. Ayahnya meninggal saat usianya belum genap setahun. Sang ibu pun tinggal di rumah tua di kampungnya. Yang ia miliki hanyalah kesepian tanpa batas.

Pada tahun 1992, seorang teman mengajaknya keluar dari desa untuk mencari pekerjaan. “Saat itu saya butuh KTP untuk syarat kerja. Selama ini di desa kan tidak perlu KTP. Karena tidak tahu asal-usul, data kependudukan saya kosong. Petugas yang membantu mengisi. Dia bilang umur saya 18 tahun saja, agar boleh cari kerja,” aku Fu Fandi.

Untuk ke Shenzhen, seorang teman sekolah memberinya uang 50 yuan. Ongkos naik bis 35 yuan. Jadi sampai di kota, uangnya tinggal 15 yuan. Ternyata mencari pekerjaan di kota tidak mudah. Banyak pembatasan. Pekerjaan hanya dikhususkan bagi warga ber-KTP lokal (Kota Shenzhen-Red) saja. Fu Fandi tidak termasuk.

Untuk bekerja di pabrik, perlu uang jaminan. Maka, pekerjaan apa saja dia terima. Dia pernah jadi petugas kebersihan, lalu tukang cuci piring. Begitu pekerjaan kasar pun tidak ia dapatkan, Fu Fandi mulai hidup menggelandang. Ia tidur di pinggir jalan, melewati malam. Di saat hari terang, wilayah operasinya tak jauh dari tong sampah. Waktu 20 tahun pun berlalu. Di kota Senzhen yang gemerlap itu, seolah tak ada tempat untuknya.

Kala hidup menggelandang, ia bertemu banyak kawan, di antaranya anak-anak cacat. Mereka menampung Fu Fandi untuk hidup bersama. Masalah tidur dan makan, sudah ada jalan keluarnya. Mereka juga senang dengan kehadiran Fu Fandi, apalagi ia kerap menghibur dengan menyanyi.

“Saya pun membantu mereka dengan mengamen di jalanan. Sejak kecil saya memang suka menyanyi dan membaca. Lagu membuat saya merasakan betapa indahnya dunia,” ungkap Fu Fandi, yang senantiasa bertutur kata lembut, sopan, serta sering berkata “maaf” dalam tiap kalimatnya.

Kontestan CGT
Ternyata lewat suaranya itulah Fu Fandi diminta tampil di acara China’s Got Talent (CGT), yang di Shenzhen dilabeli tajuk “Yang Tak Terbandung”. Ia hanya diminta menyanyi dan membuat tiga juri bertahan mendengarkan lagunya minimal 100 detik. Jika tak suka, sebelum 100 detik juri akan bilang stop. Peserta dinyatakan gagal.

Sebelum Fu Fandi menyanyi, video saat ia menggelandang ditayangkan. Para juri dan ribuan penonton hampir tak percaya. Hal itu pun dikroscek padanya. “Maafkan saya, itu memang benar. Banyak kawan yang melihat saya hidup sebagai gelandangan, termasuk kawan-kawan saya yang cacat itu,” akunya.

Begitu ia membawakan lagu berjudul Pengyou bie ku (Kawan Jangan Menangis), tepuk jangan pun membahana. Suaranya ternyata merdu. Penuh penghayatan. Standing ovation serupa juga dilakukan ketiga juri begitu lagu usai ia lantunkan.

“Kamu membuat kami terkejut. Saya juri paling banyak berdiri memberi tepuk tangan untuk kontestan.
Fu Fandi, kamu adalah salah satunya. Kamu sangat hebat,” puji seorang juri. “Sinar matamu sangat bersih. Sangat jernih. Patuh, “ imbuh juri pria lainnya.

“Kamu sangat sopan, selalu bilang maaf, bilang terima kasih. Sebagai penonton atau juri, justru kami yang beriterima kasih padamu. Lihatlah, hidupmu begitu susah. Kamu menerima semua kesedihan yang bisa didterima seseorang di dunia. Tapi penampilanmu, lagumu, Kawan Jangan Menangis, kamu sedang menghibur, membantu orang lain. Kami benar-benar terharu,” komentar juri ketiga.

Juri itu kagum pada semangat Fu Fandi dalam mengajarkan perilaku dan moral yang baik. Kehidupan keras di kota Shenzhen, tak mampu mengubah sifatnya yang lembut. Juri wanita makin terpesona tatkala tahu Fu Fandi juga bisa berbahasa Inggris. Gelandangan yang didandani hingga tampil rapi itu pun mengucapkan kata-kata bijak dalam Bahasa Inggris yang ia sukai.

“You cann’t improve your past, but you can improve your future,” kata Fu Fandi. Artinya, kau tak bisa mengubah masa lalu, tapi kau bisa memperbaiki masa depan.

Kalimat yang pas buat Fu Fandi, yang masih melajang karena merasa belum bisa menghidupi wanita. Baginya, dalam kesusahan tetap ada harapan. Tak ada seorang pun yang bisa merampas harapan tulus pria bersuara dan berhati emas itu. “Saya percaya, di dunia ini banyak hal yang indah dan saya juga ingin menjadi bagian di dalamnya,” tutur salah satu finalis China’s Got Talent tersebut. (sn)

Sumber: http://efekgila.com/fandi-pemulung-dengan-suara-dan-hati-emas/

Bukan Untuk Menjajah Namun Menjadi Rakyatnya


Bengcu Menggugat

John-LieHandai taulanku orang Tionghoa Indonesia sekalian, nenek moyang kita datang ke negeri ini bukan untuk jalan-jalan namun menetap. Itu sebabnya sekali menginjak negeri ini mereka tidak kambali lagi ke kampungnya. Mereka tidak datang untuk belanja namun mencari kehidupan yang lebih baik. Begitu mendarat mereka segera bekerja. Begitu uang didapat mereka segera membangun rumah. Ketika uangnya cukup mereka pun membeli tanah.

View original post 1,554 more words